• Default Language
  • Arabic
  • Basque
  • Bengali
  • Bulgaria
  • Catalan
  • Croatian
  • Czech
  • Chinese
  • Danish
  • Dutch
  • English (UK)
  • English (US)
  • Estonian
  • Filipino
  • Finnish
  • French
  • German
  • Greek
  • Hindi
  • Hungarian
  • Icelandic
  • Indonesian
  • Italian
  • Japanese
  • Kannada
  • Korean
  • Latvian
  • Lithuanian
  • Malay
  • Norwegian
  • Polish
  • Portugal
  • Romanian
  • Russian
  • Serbian
  • Taiwan
  • Slovak
  • Slovenian
  • liish
  • Swahili
  • Swedish
  • Tamil
  • Thailand
  • Ukrainian
  • Urdu
  • Vietnamese
  • Welsh
Hari

Your cart

Price
SUBTOTAL:
Rp.0

Memilukan dan Memalukan, Mentalitas Kelas Bawah di Hajatan Kelas Atas

img


Oleh : Fahrurroji Firman Al-Fajar, S.Pd.I., M.Pd.


Antara Euforia dan Air Mata Mari kita jadikan ini bukan sekadar berita media, tapi sebagai titik balik menuju pembaruan mentalitas bangsa.

Tragedi yang Lebih Dalam dari Sekadar Antrian

Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.

Dengan penuh empati dan keprihatinan, kami menyampaikan belasungkawa sedalam-dalamnya kepada keluarga para korban yang meninggal dunia dalam insiden berdesakan pada sebuah hajatan pejabat daerah. Peristiwa yang mestinya bersifat seremonial dan menggembirakan, justru malah berubah menjadi duka.

Mereka datang untuk menyaksikan kemeriahan, ingin melihat dari dekat para tokoh, pejabat dan kemegahan perayaan. Namun kerumunan itu berujung desak-desakan yang fatal, terutama saat sesi makanan berlangsung. Makanan yang tersedia menjadi simbol tragis dari harapan sederhana rakyat kecil, tetapi sistem yang semrawut dan mentalitas rebutan yang dibiarkan menjalar akhirnya merenggut nyawa.

Memilukan karena di tengah gegap gempita hajatan kelas atas, masih ada kelas bawah yang harus bertaruh nyawa demi makanan. Mereka datang bukan untuk mencuri, bukan untuk merusuh. Mereka datang dengan harapan. Harapan yang sangat sederhana: bertemu pemimpinnya dan  pulang membawa makanan untuk dimakan bersama keluarga. Tapi sebagian dari mereka justru pulang dengan tubuh tak bernyawa.

Namun ini juga memalukan. Bukan hanya bagi penyelenggara yang abai terhadap martabat rakyatnya, tapi juga bagi kita sebagai masyarakat yang selama ini membiarkan mentalitas rebutan, takut kekurangan, dan rendahnya kesadaran kolektif tumbuh tanpa koreksi. Mentalitas kelas bawah yang terbentuk bukan semata karena kemiskinan ekonomi, tetapi karena kemiskinan adab yang diwariskan secara turun-temurun, yang dimulai  dari dalam rumah.

Ketelanjangan kesenjangan sosial yang tinggi antara  mentalitas kelas bawah dan hajatan kelas atas, serta tanggung jawab bersama.

Apa yang terjadi dalam hajatan tersebut adalah cerminan telanjang dari jurang sosial yang semakin menganga. Di satu sisi, tampak kemegahan simbolik melalui hajatan megah, disertai makanan yang melimpah. Di sisi lain, ada kelas bawah yang rela berdesakan, mendorong, bahkan mempertaruhkan nyawa demi bertemu pemimpin dan makanan yang disediakan.

 Kesenjangan ini bukan sekadar perbedaan gaya hidup, melainkan bukti bahwa distribusi rezeki tanpa adab hanya akan melahirkan luka kolektif, bukan keberkahan. Pesta itu mungkin hanya berlangsung beberapa jam atau beberapa hari, tetapi mentalitas yang tumbuh darinya bisa bertahan puluhan tahun, mentalitas ketertinggalan, rasa takut kekurangan, dan keterpaksaan untuk berebut.

Namun, tragedi ini bukan sekadar soal miskin. Ia adalah soal cara berpikir. Mentalitas rebutan, saling sikut, dan takut tidak kebagian, itu bukan bawaan lahir, Itu adalah hasil dari pola hidup dalam keterbatasan dan sistem sosial yang mempersempit akses. Inilah yang disebut sebagai mentalitas kelangkaan (scarcity mindset), di mana orang hidup dalam ketakutan terus-menerus: takut tidak cukup, takut tertinggal, takut kehilangan.

Ironisnya, mentalitas ini terus diwariskan dari rumah ke rumah, dari kebiasaan kecil di meja makan hingga cara melihat dunia secara sempit. Kita tidak sedang menyalahkan kelas sosial tertentu, melainkan sedang membuka mata bahwa ketimpangan yang dibiarkan justru menciptakan cara hidup yang makin menjauh dari nilai kemanusiaan. Dalam perspektif Islam Berkemajuan yang diusung Muhammadiyah, keadilan sosial adalah bagian tak terpisahkan dari misi profetik. Sebagaimana ditegaskan Prof. Haedar Nashir, “Masyarakat berkemajuan tidak hanya ditandai oleh kemajuan fisik, tetapi oleh keberpihakan pada keadilan dan kemanusiaan.” Maka, tugas utama kita—orang tua, pendidik, pemimpin umat adalah mengubah cara berpikir, membangun kembali mentalitas yang sehat, dan menata ulang nilai-nilai hidup dari rumah, sebelum tragedi serupa kembali terulang.

Menata Ulang Warisan mentalitas berebut, rasa takut kekurangan, dan keterpaksaan untuk berebut, takut tidak cukup, takut tertinggal, takut kehilangan.

Tragedi ini harus menjadi alarm keras bagi kita semua, bahwa di balik setiap kekacauan sosial termasuk desak-desakan yang menelan korban jiwa, tersimpan warisan mentalitas yang terlalu lama dibiarkan hidup tanpa koreksi. Mentalitas berebut, rasa takut kekurangan, takut tidak kebagian, takut tertinggal, dan takut kehilangan, bukanlah sifat bawaan manusia. Ia adalah hasil dari pola asuh, pendidikan keluarga, dan sistem sosial yang tak membiasakan ketenangan batin, kepercayaan terhadap rezeki, dan sikap saling mendahulukan.

Kita memang tak bisa menutup mata bahwa ada kelalaian dalam pengelolaan massa, ada abai terhadap protokol keselamatan, dan ada kurangnya kesiapan penyelenggara dalam mengantisipasi respons publik yang tidak terduga. Hal itu tentu tak bisa diabaikan, dan harus menjadi bahan evaluasi menyeluruh bagi siapa pun yang memiliki tanggung jawab terhadap keramaian publik. Namun, yang lebih penting dan lebih mendasar dari semua itu adalah soal mentalitas. Karena bahkan dalam sistem yang paling rapi sekalipun, mentalitas rebutan dan panik karena takut tidak kebagian tetap dapat mengoyak tatanan.

Kita sering kali sibuk mengevaluasi sistem distribusi, logistik, atau keamanan acara. Namun jarang kita mengarahkan evaluasi itu ke dalam diri. Maka kita sebagai orang tua, guru, tetangga, pemimpin komunitas, dan warga negara—harus lebih dulu membiasakan diri untuk:

  1. Menjaga giliran, hal ini tidak hanya bagi kelas bawah, bahkan kelas ataspu harus banyak belajar menunggu giliran terutama dalam prosedur,  akses bahkan dalam hal yang tampak sepele.

  2. Merasa cukup dan tidak panik akan kekurangan, karena ketenangan sosial lahir dari rasa cukup pribadi.

  3. Memberi jalan bagi yang lain, karena kebaikan bermula dari memberi ruang, bukan merebut tempat.

  4. Menjaga martabat, terutama saat sempit, karena harga diri tidak ditentukan oleh isi tangan, tapi oleh isi kepala dan hati.

    e33fc969-a2ea-41fb-991f-1dba1bac7957.jpg Fahrurroji Firman Al-Fajar, S.Pd.I., M.Pd.

    Sekretaris Majelis DIKDASMEN DAN PNF  PDM Garut

    Dosen IMDA Garut

© Copyright 2024 - Muhammadiyahgarut.com: Gerakan Dakwah Amar Ma'ruf Nahi Munkar
Added Successfully

Type above and press Enter to search.