Membaca Buku di Era Scroll Tak Berujung: Kenapa Harus Kembali ke Halaman yang Nyata?

Oleh: Ikhsan Abdul Aziz
Di tengah derasnya arus informasi digital, kebiasaan membaca perlahan mulai bergeser. Jika dulu kita akrab dengan aroma kertas dan suara halaman yang dibalik perlahan, kini kita lebih sering menghabiskan waktu membaca melalui layar. Media sosial, FYP Tiktok atau postingan infografis di Instagram, seakan jadi sumber bacaan sehari-hari. Praktis? Tentu saja. Tapi, ada satu hal yang sering terabaikan: membaca buku secara langsung punya manfaat yang jauh lebih dalam dan berdampak besar bagi perkembangan cara berpikir kita.
Saat kita membaca di media sosial, biasanya yang kita dapatkan hanyalah potongan-potongan informasi yang bersifat instan. Judul-judul yang bombastis, caption singkat, atau paragraf pendek yang dengan mudah kita geser ke postingan berikutnya. Informasi-informasi seperti itu memang menyenangkan, tetapi sering kali hanya berhenti di permukaan. Berbeda dengan membaca buku. Buku membawa kita untuk menyelami gagasan secara utuh, mengajak berpikir runtut, dan mengantarkan kita untuk memahami sesuatu secara menyeluruh. Nicholas Carr dalam bukunya The Shallows (2010) bahkan menyoroti bagaimana kebiasaan membaca cepat di internet justru melemahkan kemampuan otak kita untuk menganalisis informasi dengan mendalam. Kita seperti diajak berpikir serba instan, tapi kehilangan kekuatan untuk membangun logika yang matang.
Ada satu hal yang jarang kita sadari aktivitas membaca di media sosial sebenarnya sangat dipengaruhi oleh dorongan dopamin dalam otak kita. Setiap kali kita menemukan sesuatu yang baru, menarik, atau viral, otak akan memproduksi dopamin, hormon yang memicu rasa senang. Sensasi ini membuat kita ingin scroll lagi, cari lagi, dan terus mengulang pola tersebut tanpa sadar. Kita membaca bukan karena ingin memahami, tetapi karena ingin mendapatkan reward kecil berupa sensasi puas sesaat. Ini juga yang membuat kita sering merasa gelisah kalau tidak membuka media sosial, padahal informasi yang kita konsumsi pun sering kali tidak benar-benar bermakna. Buku bekerja dengan cara yang sebaliknya ia tidak menawarkan kepuasan instan, tapi melatih kesabaran dan ketekunan untuk memahami sesuatu secara perlahan. Ini bukan soal cepat atau lambat, tapi soal dangkal atau mendalam.
Tentu, media sosial punya keunggulannya sendiri, seperti cepat, singkat, dan mudah diakses. Tapi informasi yang terlalu cepat datang dan pergi juga sering kali bersifat sesaat. Membaca buku bukan hanya menambah pengetahuan, tapi memberikan bekal hidup. Buku mengajak kita memahami konteks, sebab-akibat, dan membentuk pola pikir yang lebih reflektif. Seperti kata Plutarch, filsuf Yunani kuno, “Pikiran itu bukan bejana yang harus diisi, melainkan api yang harus dinyalakan.” Buku adalah bahan bakarnya.
Akhirnya, membaca buku bukan semata soal romantisme masa lalu. Ini adalah soal investasi diri. Di tengah derasnya scroll tanpa ujung, mungkin kita memang butuh berhenti sejenak, menutup layar, dan membuka halaman. Bukan karena buku lebih keren, tapi karena lewat buku kita bisa menemukan kembali diri kita yang berpikir lebih jernih, lebih sabar, dan lebih utuh. Scroll boleh, tapi jangan lupa sesekali pulang ke halaman yang nyata.
Ikhsan Abdul Aziz
PC IPM Garut Kota
Duta Baca Kabupaten Garut 2025
✦ Tanya AI