Memahami Suasana Kebatinan

Memahami Suasana Kebatinan
Oleh: Rahmat Setiadi
Pada suatu ketika penulis pernah mendengar cerita seorang kawan. Dia adalah seorang relawan kemanusiaan yang sering membantu orang-orang paska mendapatkan dampak bencana alam baik itu gempa bumi, banjir, ataupun bencana alam lainnya. Dalam sebuah obrolan katanya dia mendengar percakapan antara seorang pejabat yang berwenang yang berasal dari kabupaten dengan salah seorang korban dampak bencana di salah satu kecamatan di Garut Selatan. Pada waktu itu sekitar lima belas tahun yang lalu di Garut Selatan ada kejadian gempa bumi. Dari kejadian gempa itu banyak sekali rumah-rumah penduduk yang hancur bahkan ada juga korban jiwa.
Dalam obrolan tersebut kawan penulis mendengar nasihat yang disampaikan oleh pejabat yang berwenang yang datang dari ibu kota kabupaten kepada salah seorang korban terdampak bencana alam. Pejabat itu berkata: “ Mohon sabar ya, Pak! ini sudah takdir Allah. Tidak perlu bapak berlarut-larut dalam kesedihan”. Lalu si Bapak yang menjadi korban terdampak itu menjawab: “Enak saja bapak menyuruh saya bersabar. Hari ini saya tidak butuh nasehat bapak untuk saya bersabar. Hari ini saya membutuhkan uang untuk memperbaiki rumah, rumah saya hancur. Hari ini saya butuh makanan, saya sudah lapar. Saya dan keluarga belum pada makan”.
Dari secuil obrolan di atas penulis berpendapat bahwa tidak ada kata-kata yang salah dari pejabat kabupaten itu, tetapi mengapa dia malah mendapatkan jawaban yang cukup mengejutkan dari sang korban terdampak bencana alam. Memang sudah sepantasnya orang yang terkena musibah untuk bersabar. Islam sudah mengajarkan kepada umatnya untuk bersabar ketika diberikan musibah. Pertanyaannya mengapa antara pernyataan yang baik dari pejabat kabupaten itu dengan jawaban dari sang korban terdampak bencana alam tersebut menjadi kontradiktif.
Jawabannya adalah mungkin karena “Suasana Kebatinan”. Suasana kebatinan ternyata bisa menghasilkan produk perilaku dan produk retorika. Walaupun tidak menjadi sebuah generalisasi bisa jadi orang yang bermuka masam dan berkata-kata kasar dipastikan suasana kebatinannya sedang bermasalah. Sebaliknya bisa jadi orang yang bermuka manis dan kata-katanya lembut itu pun dipastikan suasana kebatinannya sedang nyaman, sedang tenang dan enjoy. Suasana kebatinan ada yang bersifat positif dan ada pula yang bersifat negatif.
Maka kemungkinan besar si Bapak yang terdampak korban tersebut suasana kebatinannya sedang bermasalah, suasana kebatinannya sedang dalam posisi negatif sehingga siapapun yang memberi nasihat dianggap memperuncing masalah bagi dirinya bukan memberikan solusi bagi dirinya sehingga dia memberikan reaksi yang sensitif. Hal itu memang sangat lumrah karena bisa jadi dalam posisi tertentu semua orang memiliki potensi seperti si Bapak yang terdampak bencana alam tersebut. Orang akan marah dan tersinggung ketika mendengar pernyataan orang lain walaupun pernyataan tersebut sebetulnya ketika diperhatikan dari kaidah dan retorikanya baik. Itulah reaksi yang ditimbulkan dari suasana kebatinan. Suasana kebatinan sangat berpengaruh pada sikap, perilaku, dan kata-kata.
Pertanyaan selanjutnya apakah suasana kebatinan itu?
Suasana kebatinan adalah suatu keadaan atau atmosfer yang membangkitkan perasaan spiritual, kontemplatif, dan introspektif, atau sebaliknya serta dapat membawa manfaat atau mudharat bagi kesehatan mental dan spiritual seseorang. Suasana kebatinan seringkali dikaitkan dengan kegiatan spiritual, meditasi, atau refleksi diri. Suasana kebatinan sangat dipengaruhi oleh situasi dan kondisi di sekitarnya. Kondisi yang dimaksud bisa datang dari manusia itu sendiri atau orang-orang di sekitarnya, bisa instrinsik atau ekstrinsik.
Ciri-ciri suasana kebatinan yang positif
1. Suasana kebatinan seringkali diiringi dengan perasaan tenang dan damai.
2. Kontemplatif: Suasana kebatinan mendorong seseorang untuk melakukan refleksi diri dan
introspeksi.
3. Suasana kebatinan seringkali dikaitkan dengan kegiatan spiritual atau religius.
Manfaat suasana kebatinan yang positif
1. Mengurangi stres dan kecemasan.
2. Meningkatkan kesadaran diri dan memahami diri sendiri.
3. Meningkatkan ketenangan batin dan perasaan bahagia.
Ciri-ciri suasana kebatinan yang negatif
1. Suasana kebatinan seringkali diiringi dengan perasaan resah dan gelisah.
2. Suasana kebatinan yang tidak mendorong seseorang untuk melakukan refleksi
diri dan introspeksi.
3. Suasana kebatinan yang tidak terkait dengan kegiatan spiritual atau religius.
Dampak suasana kebatinan yang negatif
1. Menimbulkan suasana stres dan kecemasan.
2. Menghilangkan kesadaran diri dan tidak mampu memahami diri sendiri.
3. Lemahnya ketenangan batin dan perasaan bahagia yang mati rasa
Untuk memahami suasana kebatinan seseorang, maka kita dapat melakukan beberapa hal berikut:
1. Dengarkan dengan empati: Berikan perhatian penuh dan dengarkan apa yang
mereka katakan tanpa menghakimi atau memberikan penilaian. Cara ini akan
memberikan ruang untuk mengeksplorasi perasaan yang sedang dialami serta
tidak menjadi pemantik yang negatif dari suasana kebatinan seseorang.
2. Tanyakan dengan bentuk pertanyaan terbuka: Ajukan pertanyaan yang
memungkinkan mereka untuk berbagi perasaan dan pikiran mereka secara lebih
mendalam. Ini pun bagian dari upaya memfasilitasi agar seseorang tersugesti
untuk lebih berani mengungkapkan perasaannya. Bentuk ini merupakan upaya
meningkatkan komunikasi yang efektif dan mendukung.
3. Perhatikan bahasa tubuh: Perhatikan bahasa tubuh dan ekspresi wajah mereka
untuk memahami perasaan dan emosi yang mereka alami. Kemampuan
menafsirkan mimik wajah dan gimik akan lebih cepat memahami suasana
kebatinan seseorang, apakah seseorang itu suasana hatinya bergembira atau
sedih. Bahasa tubuh melalui mimik wajah dan gimik merupakan gambaran
suasana hati.
4. Jangan menghakimi: Jangan menghakimi atau memberikan penilaian tentang
perasaan atau pikiran mereka. Semakin menghakimi, maka orang yang sedang
menderita akan merespon dengan negatif setiap kata-kata yang ia dengar.
5. Tunjukkan empati dan pengertian: Tunjukkan bahwa kita memahami dan peduli
dengan perasaan mereka. Dalam hal ini seorang empator harus memiliki
kemampuan untuk memahami dan merasakan perasaan orang lain, serta dapat
menempatkan diri pada posisi orang lain. Empati melibatkan kemampuan untuk
mengenali dan memahami emosi orang lain, serta dapat merespons dengan
cara yang mendukung dan peduli.
6. Berikan ruang: Berikan ruang bagi mereka untuk berpikir dan merasakan tanpa
tekanan atau desakan. Waktu yang luas dan suasana terbuka akan sangat
berpengaruh kepada upaya mengeksplorasi menyampaikan persoalan bagi
orang-orang yang sedang menderita atau mempunyai masalah.
7. Jadilah pendengar yang baik: Jadilah pendengar yang baik dan berikan perhatian penuh
pada apa yang mereka katakan. Ketika orang yang mempunyai masalah sedang
menyampaikan persoalan maka jangan pernah terjadi perdebatan antara pembicara dan
pendengar karena hal itu akan berakibat tidak adanya penyelesaian dalam pemecahan
masalah.
Dengan melakukan hal-hal tersebut, mudah-mudahan kita dapat memahami suasana kebatinan seseorang dan membantu mereka merasa lebih nyaman dan perasaannya bisa didengar.
Ada contoh yang sempurna dalam rangka memahami suasana kebatinan seseorang seperti yang dicontohkan Rasulullah SAW yang digambarkan dalam Al Qur’an Surat At Taubah ayat 128 yang artinya: “Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin”.
Ayat di atas menjelaskan karakter orang yang memiliki empati yakni ikut merasakan beratnya penderitaan orang yang sedang menderita (takaful), sangat menginginkan dan membantu keselamatan orang yang sedang menderita (ta’awun), dan mengasihi serta menyayangi orang yang sedang menderita (tarahum)
Baginda Rosul memiliki karakter yang memahami penderitaan manusia sehingga beliau memiliki empati terhadap penderitaan tersebut lalu beliau menempatkan diri seperti orang yang menderita, mengenali dan memahami emosi orang yang menderita serta merespon dengan cara yang mendukung dan peduli.
Agar kita menjadi empator yang bisa memahami suasana kebatinan seseorang maka bukan saja secara lahiriyah melakukan beberapa aktivitas di atas, namun upaya mendekatkan diri kepada Allah merupakan sebuah keniscayaan yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Di antara upaya-upaya tersebut adalah:
1. Sering berdoa minta ditenangkan hati karena Alloh-lah yang bisa membolak-balikan hati.
2. Membaca Al Qur’an setiap hari karena dampak membaca Al Qur’an akan memberikan efek positif yakni
memberikan rasa tenang sehingga bisa memahami suasana kebatinan orang lain sekaligus menjaga suasana
kebatinan diri sendiri.
3. Rajin melakukan shalat malam (Qiyamul Lail). Ketika suasana tenang kita bisa mengadukan berbagai macam
persoalan kepada yang kuasa sehingga harapannya Yang Maha Kuasa mengangkat kita kepada derajat terpuji.
4. Bertawakal kepada Alloh untuk mendapatkan rahmat-Nya.
Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya. (QS. Ali Imran ayat 159).
Wallahua'lam

Rahmat Setiadi
Kepala SMP Muhammadiyah Tarogong
Ketua Satkorwil 2 SMP
✦ Tanya AI