Guru Dalam Dada Pemimpin

Oleh : H. Nanang, S.H.
Dalam setiap dada seorang pemimpin besar, tersembunyi satu nama yang tak tertulis di lembar sejarah resmi, tetapi terpatri kuat dalam kesadaran dan nurani mereka: guru. Seorang guru mungkin tak pernah naik ke panggung politik atau mengguncang dunia dengan pidato hebat, tetapi dialah tangan pertama yang mengukir pikiran dan mengguratkan karakter. Dalam senyap ruang kelas, di balik papan tulis yang berdebu, atau dalam dialog sunyi penuh makna di sanalah lahir benih-benih kepemimpinan. Guru bukan hanya profesi. Ia adalah takdir. Dalam filosofi Timur, guru digambarkan sebagai pelita dalam kegelapan; dalam ajaran Barat, guru adalah pembuka cakrawala berpikir. Dari sudut pandang sosiologis, guru adalah aktor pembentuk tatanan sosial dan budaya bangsa. Secara spiritual, guru adalah penjaga moral dan pencerah jiwa. Begitu agungnya makna guru hingga dalam berbagai kebudayaan, sebutan untuk guru bisa setara dengan ayah kedua, pemimpin ruhani, bahkan nabi. Di tangan guru, bangsa digenggam dalam bentuk paling mentah anak-anak yang haus akan makna. Di sanalah ia mulai menempa dengan disiplin yang bijak, dengan kasih yang tajam, dengan pengetahuan yang menumbuhkan, dan dengan teladan yang diam-diam mengakar. Guru adalah pengarsitek jiwa kolektif bangsa.
Guru Menentukan Arah Bangsa
Jika seorang jenderal menentukan arah pertempuran, maka seorang guru menentukan arah peradaban. Bangsa yang kehilangan hormat kepada guru, sesungguhnya sedang menuju kehancuran nilai. Lihatlah sejarah bangsa-bangsa besar: kebangkitan mereka selalu diawali oleh gelombang pendidikan, dan di balik pendidikan ada guru yang mengorbankan waktu, tenaga, dan bahkan hidupnya. Di Jepang pasca-Perang Dunia II, Kaisar Hirohito hanya bertanya satu hal "Berapa guru yang tersisa?" Ia tahu, kebangkitan bangsanya tidak dimulai dari senjata, melainkan dari kapur tulis dan buku pelajaran. Guru adalah garda depan kebangkitan.
Di Indonesia, tokoh-tokoh seperti Kiai Ahmad Dahlan, K.H. Hasyim Asy’ari, dan H.O.S. Tjokroaminoto adalah contoh guru sejati yang bukan hanya mengajar, tetapi menggugah, membangkitkan kesadaran kebangsaan, dan menanamkan nilai perjuangan. Ahmad Dahlan membangun Muhammadiyah sebagai gerakan pembaruan Islam dan pendidikan yang merangkul sains serta modernitas. Ia adalah guru dalam arti sesungguhnya: membuka pikiran umat. Hasyim Asy’ari mendirikan Nahdlatul Ulama dengan semangat menjaga tradisi keilmuan Islam dan menanamkan karakter keulamaan pada murid-muridnya. Sedangkan Tjokroaminoto, bukan hanya pemimpin Sarekat Islam, tapi juga guru dari para calon pemimpin besar: Soekarno, Kartosuwiryo, Semaoen, hingga Tan Malaka.
Guru Mencetak Penguasa
Pemimpin tidak muncul tiba-tiba dari langit kekuasaan. Mereka ditempa dalam ruang-ruang sederhana, dididik untuk berpikir kritis, bertindak etis, dan berani mengambil tanggung jawab. Guru lah yang pertama kali mengajarkan seorang calon pemimpin untuk mengangkat tangan, menjawab dengan jujur, atau bertanya dengan rasa ingin tahu yang murni. Napoleon Bonaparte, sang penakluk Eropa, begitu menghormati guru matematikanya. Ia pernah berkata bahwa strategi militernya tak akan lahir tanpa pemahaman logika yang diajarkan gurunya. Ironisnya, Adolf Hitler, meski sangat cerdas dan senang membaca, sempat mengalami konflik dengan sistem pendidikan yang kaku dan guru-guru yang tidak mampu menjinakkan gejolak batinnya. Mungkin disitulah kita belajar, betapa krusialnya kualitas guru dalam membentuk atau menghancurkan arah seorang calon pemimpin. Benito Mussolini adalah anak dari seorang guru sekolah. Ayahnya bukan hanya mengajarkan membaca, tetapi juga menanamkan api ideologis. Sementara itu, di sisi lain sejarah, Barack Obama berkali-kali menyebut pengaruh luar biasa dari gurunya, termasuk guru sastra dan guru komunitas yang membuatnya mengerti makna keadilan sosial.
Para Pemimpin Indonesia dan Gurunya
Soekarno, sang proklamator, adalah murid dari H.O.S. Tjokroaminoto seorang guru bangsa sejati. Di rumah Tjokroaminoto-lah Soekarno belajar bukan hanya retorika, tapi juga keberanian berpikir melampaui zaman. Tjokro bukan sekadar pengasuh kos, tapi pemahat ideologi. Soeharto muda adalah anak dari guru desa. Ia dibesarkan dalam nilai kedisiplinan dan ketenangan. Meskipun otoriter di masa kekuasaannya, tak sedikit yang melihat sisi lembut Suharto yang sangat menghormati guru dan tradisi pendidikan Jawa. B.J. Habibie, ilmuwan dan presiden ketiga Indonesia, memiliki banyak guru di Jerman yang membimbingnya bukan hanya dalam bidang teknik, tetapi juga tentang integritas intelektual.
Namun, ia selalu menyebut ibunya sebagai guru pertama yang menanamkan nilai kejujuran dan kerja keras. Gus Dur adalah murid dari berbagai guru dari ulama pesantren hingga pemikir sekuler. Tapi satu yang tak bisa dilupakan adalah peran ayah dan kakeknya, yang mengajarkannya mencintai ilmu dan berpikir terbuka. Gus Dur adalah contoh pemimpin yang dibentuk oleh keragaman sumber keilmuan. Megawati Soekarnoputri belajar langsung dari Soekarno ayahnya sendiri. Dalam banyak kesempatan, Megawati menyebut bahwa ia belajar makna keberanian dan integritas dari pidato dan perilaku Bung Karno sejak kecil. Susilo Bambang Yudhoyono adalah alumni militer yang dikenal rajin belajar. Ia menaruh respek besar terhadap para pendidiknya di militer maupun akademik. Salah satu gurunya di pendidikan militer pernah menyebut SBY sebagai murid yang sangat reflektif dan kritis. Joko Widodo adalah lulusan UGM yang dalam banyak kesempatan menyebut gurunya di bidang kehutanan sebagai inspirator sikap praktis dan etos kerja tinggi. Ia juga dikenal sebagai pemimpin yang mendengar sebuah keterampilan yang jarang, dan biasanya tumbuh dari pengaruh guru yang humanis. Prabowo Subianto, meskipun dibesarkan dalam keluarga diplomat, juga memiliki guru-guru militer dan ideologis yang membentuk pandangannya tentang nasionalisme dan kedaulatan.
Pemimpin Dunia dan Warisan Gurunya
Winston Churchill pernah menulis tentang rasa hormatnya pada guru sejarahnya. Mahatma Gandhi memiliki guru spiritual yang menuntunnya menjalani hidup sederhana. Nelson Mandela dihormati oleh guru-guru hukum dan filosofi Afrika yang mengajarkannya keadilan dan rekonsiliasi. Bahkan Stalin, dalam sejarah yang kelam, dulunya adalah murid seminari yang kehilangan arah setelah konflik ideologis dengan gurunya. Artinya, baik dalam kemuliaan maupun kebengisan, jejak guru tetap ada dalam dada para pemimpin. Guru bisa menanam cahaya, bisa pula dalam kondisi salah melahirkan bayang-bayang gelap.
Guru Seperti Apa yang Melahirkan Pemimpin Hebat?
Guru yang besar bukan yang paling pandai bicara, tetapi yang paling mampu menyalakan api berpikir. Guru pemimpin adalah guru yang tidak hanya memberi tahu, tetapi membangkitkan keingintahuan. Ia bukan pengendali, tapi penuntun.
Guru yang melahirkan pemimpin hebat adalah guru yang memahami potensi unik setiap murid. Ia tidak membandingkan, tetapi menumbuhkan. Ia tidak mendikte masa depan, tetapi menyediakan ruang agar murid bisa menemukannya sendiri. Mereka adalah guru yang hadir total dalam keberanian, dalam kasih, dalam integritas, dan dalam contoh nyata kehidupan. Bukan guru yang sempurna, tetapi guru yang tulus.
Apa yang Harus Dilakukan Para Pemimpin terhadap Guru?
Pemimpin yang benar akan selalu kembali pada akar pendidikannya. Ia akan menjadikan guru sebagai mitra strategis dalam pembangunan, bukan sekadar pelengkap administrasi. Ia akan mendengar suara guru seperti ia mendengar detak jantung bangsa. Para pemimpin harus memastikan guru hidup layak, dihormati, dan terus dikembangkan kapasitasnya. Guru harus diberi ruang untuk berkarya, bukan dikekang dengan birokrasi. Pendidikan harus kembali menjadi peristiwa luhur, bukan sekadar industri.
Bagaimana Agar Guru Menjadi Sentral Inspirasi Bangsa?
Negara harus menjadikan profesi guru sebagai kebanggaan, bukan pelarian. Guru harus menjadi pekerjaan idaman anak-anak muda, bukan profesi penuh frustrasi. Media harus mengangkat kisah guru, bukan sekadar artis. Kurikulum harus memberikan ruang eksplorasi, bukan hanya hafalan. Sekolah harus menjadi tempat kehidupan, bukan sekadar tempat ulangan. Dan yang terpenting, masyarakat harus menghidupkan kembali tradisi menghormati guru. Sebab bangsa yang besar bukan hanya yang punya teknologi tinggi atau militer kuat, tapi bangsa yang pemimpinnya menyimpan nama gurunya dalam dada sebagai kompas moral, pelita nalar, dan teladan hidup. Guru bukan sekadar profesi, ia adalah jiwa yang menyala dalam sejarah bangsa. Dan jika suatu saat dunia bertanya, “Dari mana lahirnya pemimpin hebat?” Maka kita bisa menjawab dengan yakin dari seorang guru yang mungkin tak dikenal dunia, tapi dikenal baik oleh hati muridnya. Semoga !
H. Nanang, S.H.
Wakil Ketua PDM Garut
Koordinator MPI
Ketua Dewan Pendidikan Garut Periode 2024-2029
✦ Tanya AI